Swasembada pangan yang berarti kita mampu utk mengadakan sendiri kebutuhan pangan masyarakat dengan melakukan realisasi & konsistensi kebijakan tersebut. Era kesuksesan swasembada pangan pernah terjadi pada tahun 1984 di Indonesia atau pada masa orde baru di bawah pimpinan presiden Soeharto. Ketika itu bangsa ini berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Indonesia berhasil melakukan swasembada beras. Pencapaian ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. Ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.
Menurut Tabloid Sinar Tani, pada masa swasembada pangan, dunia terkagum-kagum, sehingga merasa perlu mengundang Presiden Soeharto untuk berpidato di Markas FAO di Roma untuk menularkan pengalaman Indonesia ini ke negara negara lain. Produksi tahun 1985 sebesar 26,54 juta ton (terjadi surplus 371.000 ton). Pada tahun 1986 produksi sebanyak 27,01 juta ton (surplus 213.000 ton). Tahun 1987 sekitar 27,25 juta ton (tapi minus 64.000 ton). Pencapaian swasembada 1984 ini dilakukan melalui kerja keras puluhan tahun dengan pembangunan irigasi, pabrik pupuk, Bimas, KUT, KUD, dan lain-lain.
Namun sayang, seiring berjalannya waktu dan perguliran kepemimpinan di Indonesia, swasembada pangan justru semakin sulit untuk dicapai di era reformasi seperti sekarang. Banyak faktor yang menyebabkan sektor pertanian mangalami penurunan drastis. Di antaranya adalah mulai berkurangnya minat para pemuda bangsa untuk menekuni dunia pertanian, pekerjaan sebagai petani itu tidak lagi dipandang menjadi pekerjaan utama, namun kadang sebagai sampingan, bahkan kini yang lebih memprihatinkan pekerjaan tersebut telah benar-benar sudah ditinggalkan. Sektor pertanian kini bagi sebagian besar masyarakat, termasuk generasi muda bukan lagi bidang yang menjanjikan serta membanggakan. Selain itu lahan yang biasanya digunakan untuk bertani banyak yang telah beralih fungsi menjadi lahan non pertanian lainnya seperti perumahan, perkantoran atau bahkan berubah menjadi lahan pertambangan batu bara.
Menurunnya perkembangan sektor pangan di Indonesia membuat kebutuhan masyarakat kita akan bahan pangan semakin mengkhawatirkan. Lahan sawah mempunyai arti yang terpenting dalam menentukan ketahan pangan nasional. Ketahanan pangan meliputi aspek ketersediaan bahan pangan, aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan, dan keamanan pangan (food safety). Lebih dari 90% beras yang dikonsumsi di Indonesia dihasilkan di dalam negeri, dan sekitar 95% dari beras dalam negeri tersebut dihasilkan dari lahan sawah. Kekurangan kebutuhan beras selama ini dipenuhi dengan beras impor. Jaminan ketersediaan beras impor lebih rendah dibandingkan dengan ketersediaan beras di dalam negeri. Selain ditentukan oleh kondisi produksi dari negara pengekspor, hubungan bilateral antara negara pengekspor dengan Indonesia serta keamanan regional menentukan ketersediaan beras impor.
Menurut Gatra News (2011), Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan, impor yang akan dilakukan nantinya hanya untuk menutupi kekurangan persediaan beras dalam negeri. Kebijakan impor yang dilakukan tidak untuk menggangu harga beras di pasaran. Impor ini untuk jaga stok. Kebijakan impor beras akan digunakan pemerintah untuk menjaga kestabilan harga beras dalam negeri, bukan untuk disalurkan ke pasar-pasar. Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan, Indonesia bisa saja tidak melakukan impor beras apabila dapat menjaga persediaan beras di Bulog sampai dengan 1,6 juta ton.
Keputusan pemerintah untuk melakukan impor beras memicu kritikan dari berbagai kalangan di daerah, mulai dari petani, LSM, mahasiswa dan tanpa aparatur Negara. Mereka khawatir impor beras akan semakin memperburuk kehidupan petani. Hal itu menunjukkan tidak adanya program pembangunan yang konkret terhadap sektor pangan. Kontroversional impor beras di Indonesia telah menjadi bahan perbincangan yang hangat. Inilah yang terjadi di negara kita. Para petani banyak yang terlantar akibat dampak dari impor beras. Namun apabila petani Indonesia berhasil panen dalam jumlah yang amat besar, mungkin pemerintah tidak akan mengambil kebijakan impor beras.