"Akak akak, akak ade cita-cita tak?"
"Ade, kenape?"
Upin dan Ipin kemudian menceritakan tugas untuk menggambar cita-cita dari Cek Gu
"Sebab itu lah kita orang tanya akak."
"Oo, Cita-cita akak ingin jadi dokter"
Kalimat di atas merupakan penggalan dialog dalam sinema kartun asal negeri Jiran, Upin dan Upin. Episode "Bila Besar Nanti", sangat sarat dengan tingkah lucu dua bocah botak dan kawan-kawannya, namun tak pernah ketinggalan menyisipkan makna hidup secara sederhana.
Siang ini, seperti biasa, layar televisi rumah dihiasi oleh percakapan Upin, Ipin dan kawan-kawannya. Adek saya yang paling bungsu, memang sangat menggemari sinema kartun yang sangat kental dengan budaya melayu ini. Udah tua tapi masih nonton Upin-Ipin, gak malu? Jelas enggak kok. Justru saya lebih memilih nonton tayangan kartun Upin-Ipin yang sederhana namun lebih mendidik dibandingkan membiarkan mata dan telinga ini menikmati tayangan musik, sinetron ataupun komedi yang kurang bermutu lainnya.
Kembali ke cerita Upin-Ipin episode kali ini.
"Bila Besar Nanti"
Dari judulnya saja, pasti sudah terbayang bahwa episode siang ini akan penuh dengan gambaran cita-cita Upin, Ipin dan kawan-kawan kecilnya. Di bagian tengah cerita, Upin dan Ipin sudah mulai masuk kelas lagi dan bersiap untuk menunjukkan hasil gambar cita-citanya. Satu per satu dari mereka maju ke depan kelas untuk menunjukkan gambar sambil bercerita.
Ihsan
dengan cita-citanya menjadi KOKI
Fizi
dengan cita-citanya ingin menjadi TUKANG SAMPAH
Janjrit
dengan cita-citanya ingin menjadi WARTAWAN
Upin
dengan cita-citanya ingin menjadi ASTRONOT
Ipin
dengan cita-citanya ingin menjadi PEMBUAT ROKET
Serunya dunia anak-anak itu, kita bisa bebas berekspresi, bebas berimajinasi, bebas menuangkan apapun yang ada di pikiran kita, penuh kejujuran dan apa adanya. Itu lah yang sangat saya suka dari anak-anak. Bagi saya, mereka lah manusia yang sesungguhnya. :)
Ada dua bagian cerita dalam episode "Bila Besar Nanti" yang menarik bagi saya. Yaitu cita-cita Fizi sebagai tukang sampah dan cita-cita Janjrit sebagai wartawan. Masih ingat apa alasan Fizi memilih cita-cita sebagai tukang sampah?
Cek Gu : "Kenape Fizi kan jadi tukang sampah?"
Fizi :"Iye lah. Bila sampah tak ade, semua tempat bersih. Tak ada penyakit, baru lah sehat."
Saya yakin, pasti tidak hanya Fizi yang pernah berpikiran seperti itu. Namun jutaan anak-anak di dunia lainnya, meskipun tidak semua, pasti ada yang juga pernah memiliki pikiran yang sama. Begitulah kepolosan dan kejujuran mereka. Ya, manusia yang sesungguhnya, pasti tidak akan membuat kotor alam yang telah ditinggalinya selama ini. Manusia yang sesungguhnya tentu akan selalu berusaha menjaga alam yang menjadi rumah bagi kita selama ini. Dan memang sungguh, anak-anak itu adalah manusia yang sesungguhnya.
Kenapa saya bisa bilang begitu? Coba saja kita bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Kalau ada orang dewasa yang berkata, "Aku ingin jadi Tukang Sampah", sudah pasti kita akan menertawakannya kan? Puluhan pertanyaan dan pernyataan tentu akan mulai dilayangkan. "Kenapa jadi Tukang Sampah?", "Kamu mau jadi Tukang Sampah?", "Ih, jadi Tukang Sampah itu Bau Lho.", "Dapet apa kamu dari jadi Tukang Sampah.", "Emang kalo jadi Tukang Sampah kita dapet gaji berapa?", "Mau makan pake apa kamu kalo jadi Tukang Sampah?" dan pernyataan lainnya yang bertubi-tubi. Nah, sekarang bandingkan lagi dengan jawaban Fizi tadi ketika ditanya oleh gurunya mengapa ingin jadi tukang sampah. Fizi bisa menjawabnya dengan yakin dan tegas. Namun jika pertanyaan itu ditujukan pada kita, pada kita sebagai orang dewasa, apa kita bisa menjawab setegas dan seyakin Fizi? Yah, itulah beda dunia anak-anak dan dunia orang dewasa. Atau itu juga beda nya mana yang sungguh-sungguh manusia dan mana yang bukan? :) Kita bisa menjawabnya sendiri. :))
Selanjutnya tentang cita-cita Janjrit sebagai wartawan.
Cek Gu bertanya, "Janjrit, jadi kau ingin jadi wartawan? Bagus itu. Tapi, jadilah wartawan yang bertanggung jawab. Maksudnya, harus melaporkan cerita yang betul."
Pesan Bu Guru itu menurut saya, simple tapi menusuk. Mengingat apa yang terjadi pada dunia jurnalisme kita saat ini, tentu pernyataan Bu Guru kepada Janjrit sangat amat bermakna. Janjrit seperti anak-anak lainnya, sangat polos. Saat Gurunya berpesan seperti itu, tentu dia akan mengiyakan. Namun apa yang terjadi jika pesan itu disampaikan pada orang dewasa? Bisa diterima kah? Bisa dipercayakah? Melihat dunia jurnalisme yang semakin buram dan abu-abu saat ini, dimana suatu berita saja dapat dibeli, saya rasa, pesan itu gak akan mempan jika ditujukan bagi kita, orang dewasa. Lagi-lagi, itulah beda dunia anak-anak dengan dunia orang dewasa. Anak-anak bisa bebas mengekspresikan ingin jadi apa mereka kelak, namun saat dewasa, kebebasan itu seperti telah lenyap tak berjejak. Kebebebasan yang kita miliki saat anak-anak akan tertutupi oleh yang namanya kebutuhan materi, kebutuhan jabatan, kebutuhan pengakuan.
Tujuan saya menulis artikel ini, sebenarnya bukan untuk membandingkan dunia anak-anak dan dunia orang dewasa. Keduanya memang berbeda dan tidak dapat disamakan. Namun, saya hanya ingin menekankan pada judul episode Upin dan Ipin siang ini, yaitu "Bila Besar Nanti".
Pernahkah kita mengucap, menulis atau menggambar tentang cita-cita kita saat kecil?
"Aku ingin jadi Dokter, Yah.", "Aku ingin jadi Arsitek, Bu."
Ingatkah kita dengan cita-cita itu? Dengan kata-kata itu? Dengan anagan-angan itu?
Saat kecil, kita bisa bebas mengekspresikan segalanya, mengungkapkan segalanya. Penuh kepolosan, kejujuran, apa adanya. Dan memang itulah sifat anak-anak. Namun sayang, saat menginjak usia dewasa, kebebasan itu mulai sirna. Kejujuran dan sikap apa adanya itu mulai melebur dengan adanya kebutuhan lain sebagai manusia dewasa. Dulu kita tidak pernah banyak berpikir jika kita punya cita-cita ingin menjadi dookter, ingin menjadi insinyur, ingin menjadi arsitek, dan lain sebagainya.
Tapi sekarang? Saat kita mulai dihadapkan dengan kehidupan yang keras, berbagai pertimbangan mulai muncul mengganggu pikiran kita.
"Kalau aku jadi A, gajiku nanti dikit.", "Kalau aku jadi B, nanti aku jarang ketemu keluarga.", "Kalau aku jadi C, jenjang karirnya susah."
Wajar jika pikiran-pikiran itu mulai meracuni kita. Karena memang kebutuhan kita saat menjadi orang dewasa dan saat masih anak-anak memang berbeda. Namun, tidak ada salahnya juga kan kalau kita bersikap seperti manusia yang sesungguhnya seperti anak-anak itu. Ya, manusia yang sesungguhnya, dimana kita tidak menilai suatu pekerjaan dari sisi materi saja namun juga dari segi passion dan manfaatnya bagi orang lain. Dimana kita tidak hanya menilai seseorang dari jabatan dan pekerjaannya, namun lebih pada kejujuran dan tanggung jawabnya.
Seperti satu kalimat yang pernah saya kutip dari akun twitter seseorang.
"Kita harus melakukan apa yang kita cintai dan mencintai apa yang kita lakukan. Kerja bukan semata soal imbalan."
Cita-cita adalah impian kita. Jika kita tidak ingin menukar impian itu hanya dengan kebahagiaan duniawi yang tidak abadi, maka kejarlah impian itu. sampai dapat, sampai kita bisa menggenggamnya dengan sangat erat.