Koran
bukan lagi menjadi favorit saya dalam mencari informasi terkini. Tak perlu
menunggu langganan koran datang di pagi hari, saat bangun tidurpun saya sudah bisa
mendapatkan informasi terbaru melalui satu layar kecil bernama smartphone.
Cukup praktis bukan?
Ya,
itulah dunia kita sekarang, dunia yang penuh dengan digitalisasi. Tak perlu
beranjak jauh dari tempat duduk saja, kita sudah bisa mendapatkan apa yang kita
butuhkan. Mau pesan tiket kereta api? Tinggal klik situs pemesanan tiket
online, kode booking sudah di tangan. Mau pesan seporsi pizza? Tak perlu repot
ke restoran pizza, tinggal buka saja situs resmi restoran dan lakukan pemesanan
online, hidangan pizza akan siap tersaji di depan mata kita dalam hitungan
menit. Atau mungkin ada juga yang sedang rindu dengan sahabat lama? Tak perlu
susah membuat janji bertemu, cukup say hello lewat media sosial, rasa rindu
akan terobati. Namun, apakah kehidupan seperti ini yang benar-benar kita
inginkan?
Suatu
pagi, saat saya sudah cukup jenuh dengan koneksi internet yang serba
bermasalah, saya selalu berusaha mengalihkan pandangan pada segala hal di
sekitar saya. Satu tumpuk koran hari itu membuat saya tertarik. Dalam hati saya
berpikir, “oke, mungkin koran ini bisa membunuh kebosanan saya sejenak.” Dan
ternyata benar. Baru sekilas saya melihat, mata saya langsung tertuju pada
tulisan Azrul Ananda pagi itu. Sang maestro media membuat tulisan yang berjudul
“Tenangnya Hidup Offline”. Dalam tulisannya, Azrul menekankan bagaimana
asyiknya hidup offline seperti dulu. Saat kita masih senang saling berkirim
surat dengan sahabat maupun orang spesial kita, saat kita hanya mengenal
telepon kabel yang hanya bisa digunakan sesekali karena mahalnya biaya
komunikasi, saat kita lebih memilih untuk bertemu langsung dengan kawan yang
dirindukan, maupun saat kita bisa lebih tepat waktu ketika ada janji bertemu. Sungguh
kenangan yang sangat indah menurut saya.
Saya
sendiri baru mengenal telepon genggam atau handphone ketika saya berusia 10
tahun. Meskipun saat itu sudah ada beberapa teman yang memamerkan handphone
barunya, saya masih belum tertarik. Bagi saya, berkomunikasi lewat telepon
rumah sudah cukup. Ya, secara tidak langsung, saya setuju dengan pendapat
Azrul, bahwa hidup offline itu memang sangat menyenangkan.
Teringat
kenangan masa kecil saya. Setiap kali menjelang hari raya Idul Fitri, saya
pasti merengek pada ayah untuk diantarkan ke toko buku. Sesampainya di toko buku,
box kartu ucapan selamat hari raya selalu menjadi tempat persinggahan saya yang
utama. Berbagai macam desain kartu ucapan saya pilih dan saya berikan pada ayah
untuk dibayarkan ke kasir. Setelah itu apa yang saya lakukan? Sama halnya kartu
ucapan yang sering kita temui, pasti ada ruang kosong yang disediakan bagi kita
untuk menulis kata-kata ucapan bukan? Di situ saya tulis kata-kata ucapan
selamat hari raya Idul Fitri beserta tanda tangan saya, kemudian saya masukkan
kartu ucapan tersebut ke amplop. Setelah itu saya menuju ke kantor pos untuk
membeli perangko dan mengirimkan kartu ucapan tersebut ke beberapa teman
sekelas saya. Terlihat konyolkah? Haha Meskipun kita berada di kota yang sama,
namun saya dan beberapa teman sekelas saya sangat senang saling berkirim kartu
ucapan selamat hari raya. Tentu, karena waktu itu kita masih sangat kecil, jadi
kita tidak pernah berpikir tentang efisiensi, hehe.. Yang kita tahu, kita suka
berkirim kartu ucapan dan sensasi dalam menunggu dan menerima kartu ucapan yang
ditujukan kepada kita sangatlah luar biasa.
Namun,
sekarang, saya sudah tidak pernah melakukan hal tersebut lagi. Kehadiran
handphone telah mengubah segalanya. Tak ada lagi saling berkirim kartu ucapan,
yang ada hanyalah saling berkirim pesan singkat berisi ucapan. Mungkin dulu,
saat awal kita baru mengenal handphone, kita masih semangat merancang kata-kata
indah ataupun lucu sebagai ucapan selamat hari raya pada sahabat dan sanak
saudara. Saat menerima pesan sejenis, kita pun masih semangat untuk membalas.
Tapi bagaimana dengan sekarang? Terakhir saya menerima pesan singkat ucapan seperti
itu adalah tahun lalu. Dan rasanya sudah tidak seperti saat saya baru mengenal
handphone. Kini sudah tidak ada lagi sensasi khusus dalam menerima ucapan
selamat hari raya. Mayoritas pesan yang saya terima itu layaknya broadcast,
yang sekali tekan bisa dikirim ke banyak orang, dengan isi pesan yang sama,
tanpa ada nama penerima pesan yang dituju. Tentu esensinya sangat berbeda.
Yah,
itulah salah satu bentuk digitalisasi yang kita rasakan. Dari kartu ucapan
berbentuk kertas yang berubah menjadi pesan singkat berisi ucapan. Saya setuju
bahwa digitalisasi memang menawarkan kemudahan dan biaya yang lebih rendah. Namun, kembali
lagi pada pertanyaan awal saya di atas, apakah kehidupan seperti ini yang
benar-benar kita inginkan?
Tidak
seperti Azrul Ananda yang dengan tegas dan jelas, menolak untuk hidup dalam
dunia digital. Saya pribadi masih mau mengikuti perkembangan dunia digital,
namun dengan lebih bijaksana tentunya. Karena kita yang seharusnya mengontrol
teknologi, bukan teknologi yang mengontrol kita. Dunia tanpa digital sangatlah
menyenangkan, namun dunia dengan digital cukuplah membantu kita. Jadi, menurut
saya, kita tidaklah harus memilih salah satu. Menyeimbangkan keduanya dalam
kehidupan kita tentu akan lebih baik. Dengan kata lain, kita harus sadar dan
tahu, kapan kita harus hidup di dunia tanpa digital dan kapan kita bisa kembali
ke dunia digital guna membantu sebagian pekerjaan kita.
Saya
tergolong orang yang cukup melek teknologi. Namun justru ketika kita
benar-benar paham tentang dunia digital tersebut, kita bisa memilah dengan
sendirinya, sebenarnya apa yang baik untuk kita dan apa yang kurang tepat. Saat
ini saya menggunakan smartphone untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Pada
waktu bekerja, saya selalu menyalakan handphone saya dan mengaktifkan koneksi
internet saya. Segala macam media sosial saya dalam keadaan stand by. Jadi jika
ada yang menghubungi saya, misalkan melalui whatsapp, facebook, LINE, twitter,
atau bahkan email, notifikasi baru akan muncul sehingga saya bisa membalas
pesan dengan lebih cepat. Namun ketika saya sudah pulang ke rumah dan merasa
butuh istirahat, terkadang saya tidak segan untuk mematikan alat komunikasi
saya dengan tujuan agar badan saya bisa istirahat 100%, dan secara tidak langsung
sebenarnya juga agar handphone saya bisa istirahat 100% pula. Kita manusia
ciptaan Tuhan saja kalau terlalu berlebihan dalam bekerja juga bisa sakit kan?
Apalagi handphone yang hanya buatan manusia, daya tahannya tentu sangat kecil.
Oleh sebab itu, terkadang kita juga perlu mengistirahatkan segala macam gadget
kita.
Saat
saya merasa rindu pada kawan lama, saya akan memanfaatkan teknologi untuk
menghubungi mereka, entah melalui pesan singkat maupun media sosial mereka. Namun
jika saya rindu berbincang lama dengan mereka, tentu saya akan mengajak mereka
bertemu langsung agar kita bisa mengobrol secara langsung. Jujur saja, saya
juga bukan tipe orang yang suka berbincang banyak melalui media sosial, kecuali
jika dalam kondisi-kondisi tertentu. Apabila kita punya kesempatan untuk
bertemu, tentu lebih baik bertemu dan bertatap muka, dibandingkan hanya
berbincang dengan layar handphone.
Pada
beberapa kasus, saya memang memilih untuk terjun ke dunia digital, contohnya
seperti dalam hal pekerjaan. Namun untuk hal yang bersifat pribadi, tentu saya
akan memilih dunia tanpa digital. Sebab, kedekatan antar manusia itu hanya
dapat tercipta dari koneksi langsung. Jika kita ingin lebih erat dengan
sahabat, keluarga, maupun orang-orang spesial kita, tentu kita butuh menyapanya
secara langsung bukan? Esensi saat bertatap muka langsung dengan seseorang
tentu berbeda dengan saat kita hanya mampu menatap layar gadget.
Jadi,
dunia dengan atau tanpa digital, itu adalah pilihan kita masing-masing. Kita
yang lebih tahu apa kebutuhan kita, kita juga yang lebih tahu apa yang terbaik
untuk kita.
So,
dunia tanpa digital? yes or no? Think it wisely. J