Welcome to Jakarta! |
Thursday, June 23th 2015
Semenjak di Jakarta, adrenalin saya untuk menulis mulai nyala lagi. Entah karena memang gak ada kerjaan jadi tangan sering gatel atau memang dasarnya saya suka nulis. Yang jelas, kalau gak nulis sehari aja, udah macem kebutuhan, pasti ngrasa ada yang kurang. Media menulis saya ada yang online, ada yang offline. Ada yang digital, ada pula yang konvensional. Tapi menggunakan media apapun, asalkan saya bisa menulis, everything will be okay lah ya.. :D
Well, sekarang saya ingin bercerita tentang kehidupan saya selama kurang lebih hampir sebulan di ibu kota yang sungguh gemerlap ini, Jakarta. Pertama kali saya menginjakkan kaki di Jakarta, kira-kira 17 hingga 20 tahun yang lalu, mungkin saya masih dalam usia balita. Ayah dan kakek pernah mengajak saya berkunjung ke rumah budhe di Depok. Satu kenangan kecil yang tidak pernah keluarga saya lupakan tentang kunjungan pertama saya ke Jakarta saat itu adalah, saya terjatuh dari ayunan ketika bermain di daerah Ancol. Could I remember it? Yeah, a lil bit. Secara saya saat itu masih sangat kecil, tetapi karena tidak seorang pun anggota keluarga melupakan insiden lucu tersebut, jadilah saya bisa sedikit mengingat detail kejadian masa itu.
Kenangan lucu, kenangan manis masa kecil. Sayangnya di kala itu saya belum mengerti seberapa kerasnya ibu kota. Ketika menginjak dewasa, barulah saya mulai bisa lebih memahami ibu kota (itu juga hanya melalui pemberitaan di layar kaca). Citra ibu kota bagi masyarakat daerah, ada yang positif, namun tidak sedikit yang memandangnya negatif. Some say, Jakarta layak disinggahi karena di sanalah berjuta kesempatan hidup yang lebih baik telah tersedia. But the others say, Jakarta adalah kota paling keras di Indonesia, dengan tingkat kriminalitas yang tinggi, tingkat kemacetan yang fantastis sehingga membuat setiap individu yang mencari nafkah di atas tanahnya tidak sedikit yang mudah merasa stress.
Lalu, bagaimana dengan saya? Hanya ada satu kalimat yang terbersit dalam pikiran, "Saya tidak ingin hidup di Jakarta". Why did I say that? Sejujurnya saya termakan buaian media yang lebih sering menampilkan sisi buruk dari sebuah kota Jakarta. Dengan jati diri masyarakat daerah yang terbiasa hidup damai, tenang, tentram, tanpa kemacetan di jalan, tentu saya lebih memilih kota yang sejenis dengan kota kelahiran saya. Bahkan saya siap menerima tantangan untuk tinggal dimanapun, asalkan bukan di Jakarta. Alasan saya cuman satu, saya hanya ingin hidup tenang. Namun, apakah semua kekhawatiran saya itu terbukti?
You will not find the answer if you do not open the door and enter it yet.
Akhirnya, saya harus menelan mentah-mentah omongan saya sebelumnya sejak saya dinyatakan diterima sebagai CPNS di Kementerian Pariwisata, Republik Indonesia. So, welcome to the new path!
Sejatinya saya juga milih instansi di pusat untuk seleksi CPNS itu karena terpaksa, Kementerian Pariwisata adalah satu-satunya instansi yang ingin saya apply jika memang saya harus mendaftar seleksi CPNS. Kalau saja ada kantor cabang Kemenpar di daerah, tentu saya akan melamar paling awal. Ada sih Dinas Pariwisata, tetapi keberadaan mereka di bawah Pemerintah Daerah dan tidak setiap tahun diadakan perekrutan. Jadi saya gak bisa ngarep banyak deh.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan alhamdulillah saya gak menyesali hal tersebut, malah saya mencoba menikmati bubur yang tersaji di atas meja makan ini. Saat kita mendapat rezeki dari Allah SWT, mana mungkin sih kita ngedumel gak jelas dan gak mengucap syukur. So, I'll start to enjoy it.
Sebelum ini sebenarnya saya sudah mulai sering wira-wiri ke Jakarta, terutama untuk keperluan aplikasi kerja. Jadi berbagai macam persiapan, antisipasi, dan adaptasi telah saya lakukan jauh-jauh hari. Oleh sebab itu, saat sudah sampai di Jakarta, saya bisa menjalani hari-hari dengan lebih siap, dan saya telah membuktikannya. I am really enjoying my new live in Jakarta. To be honest, Jakarta memang gak seburuk yang tampak di layar kaca kok, haha..
Actually, there are three points which is describing Jakarta as a whole (according to my standpoint) :
1. Knowledge Exposure
Pada tanggal 20 Mei 2015, saya menghadiiri sebuah konferensi pemasaran berjudul Indonesia Brand Forum (IBF) yang diadakan oleh Yuswohadi, salah seorang ahli pemasaran yang terkenal di Indonesia. Acara sejenis tentu hanya akan bisa kita jumpai di kota-kota besar, termasuk Jakarta dan Surabaya. Namun saya yakin, tidak semua acara bagus bisa terselenggarakan di luar Jakarta, entah karena faktor jarak maupun minimnya waktu para calon pembicara yang diinginkan. Di IBF saya bisa merasakan betapa beruntungnya masyarakat Jakarta dan sekitarnya, sebab mereka bisa begitu mudah menghadiri acara yang sangat bermutu seperti ini, mereka bisa begitu dekatnya dengan para pelakon bisnis nasional bahkan bisa belajar banyak ilmu langsung dari para ahlinya. Kapan lagi saya bisa mengetahui tentang strategi marketing Garuda Indonesia langsung dari Marketing Manager nya kalau bukan di IBF. Dari mana pula saya bisa mendapat ilmu global marketing dari para ahli merek nasional seperti Indofood, Torabika, Polygon, Sidomuncul, Niluh Jelantik dan sebagainya kalau bukan dari acara IBF tersebut. This knowledge exposure is kind of an asset for the capital city such Jakarta.
2. Transportation Convenience
Baik di Madiun maupun Surabaya, saya tergolong jarang naik kendaraan umum karena kemudahan dalam menggunakan kendaraan pribadi di sana. Namun, sayangnya hal tersebut justru berlaku sebaliknya di Jakarta. Masyarakat disarankan untuk menggunakan kendaraan umum untuk mengurangi tingkat kemacetan di jalanan ibu kota. Lalu, apa yang saya lakukan? Fortunately, pemerintah provinsi Jakarta telah mulai banyak menyediakan transportasi umum yang nyaman di ibu kota seperti Busway dan Commuter Line (CL). Dengan hanya membayar IDR 3500, kita sudah bisa naik busway, kemanapun, jauh dekat biayanya sama dan selama kita tidak keluar dari koridor busway, maka kita tidak perlu membayar lagi untuk naik beberapa kali. CL juga tidak kalah mudah dan murahnya. Dengan bekal uang IDR 2000-3000, kita bisa pergi dari Jakarta Kota bahkan bisa ke daerah Tangerang, Depok, Bekasi, Bogor. Tidak hanya itu sih sebenarnya. Kemajuan teknologi di Jakarta telah memicu tumbuhnya bisnis digital yang baru, beberapa contohnya adalah jasa pesan ojek online seperti GO-JEK dan GrabBike atau jasa pesan taksi online seperti GrabTaxi. Bahkan tidak jarang para penyedia jasa pemesanan transportasi online tersebut sering mengadakan promo untuk para pelanggan setianya. Saya sendiri tidak mencoba untuk membuktikannya. Sejak tahu akan adanya jasa pemesanan online tersebut, saya mulai mencobanya. Saya menggunakan promo GrabTaxi dengan memasukkan kode promo tertentu ketika proses pemesanan, maka saya akan mendapatkan potongan biaya argo sesuai promo. Tidak jarang saya bisa naik taksi gratis berkat promo dari Grab Taxi atau bahkan naik ojek keliling Jakarta hanya bayar GOCENG (IDR 5000) dengan fasilitas dari GrabBike.
3. Wide Opportunity of Business
Pernah beli produk online shop yang dikirim dari Jakarta? Atau mungkin pernah denger beberapa pusat bisnis di Jakarta seperti Pasar Tanah Abang? Jakarta emang gak cuman jadi pusat pemerintahan, tapi juga pusat bisnis Indonesia. Banyak sekali ide-ide bisnis kreatif yang muncul dari sini, bahkan tidak jarang jadi trend pertama di Indonesia. Sesungguhnya saya belum banyak research ya tentang ini, but I will do it. Intinya sih, saya sudah banyak ketemu dengan orang-orang yang punya passion bisnis gede di kota ini. Hal itu pula yang membuat naruni berbisnis saya jadi muncul lagi. Tapi memang dari awal, saya merantau ke Jakarta gak cuman mau menjadi abdi negara, tapi saya juga ingin mengasah sense of business saya, So, mencari peluang bisnis yang baru di Jakarta adalah sebuah kewajiban.
---