there are some things we never assign to oblivion, memories can never rub away."
-Haruki Murakami-
Tentang 2015
First Term :
Ekspektasi tinggi mulai dicanangkan untuk pengembangan diri yang lebih baik. Awal tahun 2015 kemarin, kehidupan saya mulai menunjukkan warna-warna cerianya. Meskipun tahun ini tahun terakhir saya di IOP, namun saya sangat bersemangat untuk menyambut perjalanan selanjutnya, yaitu berkarir secara profesional di bidang yang saya tekuni selama ini, yaitu pemasaran (marketing). Saya ingat bagaimana mulai santainya saya dalam mencari pekerjaan dan menyerahkan takdir sepenuhnya hanya kepada Allah SWT. Termasuk ketika saya coba-coba memasukkan aplikasi lamaran pekerjaan ke Uniqlo Indonesia, salah satu perusahaan multinasional asal Jepang. Dari sikap nothing to lose itu, saya justru mulai memperoleh titik terang. Ya, saya lolos seleksi Uniqlo Indonesia melalui program Uniqlo Manager Candidate (UMC), yaitu semacam Management Trainee dimana dalam waktu kurang dari dua tahun saya bisa menduduki posisi Store Manager di salah satu cabang toko Uniqlo Indonesia. Di saat yang bersamaan, ternyata kegalauan saya tentang tes CPNS mulai terjawab juga. Saya lolos seleksi CPNS Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dengan adanya dua pilihan itu, Uniqlo dan CPNS, maka saya dituntut untuk membuat keputusan. Berdasarkan berbagai macam pertimbangan, maka saya memilih mengambil kesempatan untuk menjadi CPNS di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dari sinilah perjalanan panjang saya di tahun 2015 dimulai. :))
Second Term :
Ketika kita memutuskan untuk membuka lembaran baru, maka lembaran lama pun harus kita tutup secara perlahan. Dan itulah yang saya lakukan saat itu. Saya mulai mengurus segala keperluan administrasi di kampus untuk persiapan saya hijrah ke Jakarta. Saya juga mulai resign dari IOP. Dan yang paling berat adalah ketika saya harus merelakan adanya perpisahan dengan orang-orang yang saya sayangi dengan segala memori yang tercipta di kota Surabaya. Kalau inget masa-masa itu, udah bikin mewek aja deh pokoknya, hehe.. Namun saya sadar, keinginan untuk segera merantau ke kota lain juga tinggi. Saya haus akan pengalaman baru, kawan-kawan baru dan lingkungan baru. Meskipun mungkin tidak akan sama dengan apa yang saya dapatkan selama di Surabaya, namun saya yakin pasti mampu menghadapi segala yang ada di depan mata, baik maupun buruk, senang maupun susah. Maka di titik inilah saya mengambil langkah yang lebih besar dalam hidup saya, yaitu langkah ke ranah yang lebih dewasa, berkarir secara profesional.
Awal berada di Kementerian Pariwisata (Kemenpar), masih banyak yang dilakukan untuk beradaptasi. Namun saya sudah mencium aroma kenyamanan di lingkungan kerja saya yang baru ini. Mulai berkenalan dengan staf senior dan atasan, serta berjumpa dengan sahabat-sahabat baru yang hingga kini menemani perjalanan saya di kantor. Meski tidak terlalu sulit untuk menyesuaikan diri di arena birokrasi, tetap saja terkadang saya masih butuh penyesuaian karena ini adalah pertama kalinya saja terjun langsung ke dunia kerja yang sesungguhnya. Ya, dunia yang menurut kebanyakan orang akan mampu menempa kita menjadi pribadi yang lebih matang. Karena di dalamnya kita akan menemukan berbagai macam warna kehidupan, mulai dari warna ceria yang akan membuat kita mudah tersenyum manis hingga warna bercorak gelap yang mungkin membuat kita mengernyitkan dahi.
Third Term :
Third Term :
Jika kemarin hanya mampu membayangkan bagaimana sensasinya menjadi seorang abdi negara, pada fase ketiga tahun ini saya dapat merasakannya secara nyata. Hanya ada satu kata yang mampu mendeskripsikannya, "OFF-BEAT". Bagai lukisan abstrak sebagai karya seni bernilai tinggi, sama halnya dengan irama unik yang yang diciptakan oleh para musisi handal, seperti itulah yang saya rasakan sekarang. Mulai dari pikiran seberapa membosankannya profesi sebagai abdi negara, kini saya mampu membuka mata bahwa arus laut dalam dunia birokrasi tidak setenang yang saya bayangkan sebelumnya.
Apakah pernah terlintas dalam pikiran anda tentang betapa santainya menjadi seorang abdi negara?
Apakah pernah terbentuk rasa keraguan akan matinya kreatifitas akibat rutinitas sebagai seorang abdi negara?
Atau bahkan pernah muncul ketakutan bahwa profesi abdi negara akan membuat anda menjadi sosok yang kurang dijunjung masyarakat akibat stigma negatif yang masih berkembang saat ini?
Saya tidak akan menjawab pertanyaan tersebut satu per satu. Namun saya hanya akan sedikit berbagi cerita bagaimana unpredictable-nya, unusual-nya, uncommon-nya, dan unconventional-nya menjadi seorang abdi negara, terutama di lingkungan kerja pemerintah pusat.
Lelah karena jadwal pekerjaannya yang padat merayap, iya.
Bahkan mungkin waktu senggang untuk menikmati secangkir teh di sore hari pun akan menjadi momen mewah saat ini, apalagi jika disandingkan dengan tumpukan kertas kerja yang mulai menggunung. Di sela-sela kejenuhan tersebut, masih ada rasa syukur yang terpanjat, karena saya masih mampu mengasah otak dan ketrampilan serta tidak kehilangan kreatifitas karena terbukanya kesempatan untuk mengaplikasikan ide-ide segar ke dalam beberapa program pekerjaan, tentunya setelah persetujuan dari atasan.
Jadi, semua kekhawatiran seperti pertanyaan di atas memang tidak dapat saya buktikan. Karena saya memang tidak menemukan sisi kebosanan dalam pekerjaan saya ini. Di satu waktu, saya bisa bekerja dengan penuh peluh, namun di satu waktu yang lain saya mampu mengusap tetesan keringat dengan senyum santai sambil menikmati segala yang ada di sekitar.
Tahun 2015 mampu saya tutup dengan segala capaian yang tidak mungkin juga terwujud tanpa adanya campur tangan doa orang tua, orang-orang terkasih dan ridho Allah SWT.
Keluh kesah, canda tawa, dan segala perjuangan yang membuahkan hasil manis telah menjadi bumbu penyedap semangkok harapan saya di tahun 2015. Dan saya bangga menjadi diri saya sendiri, bangga dengan segala kerja keras dan kegigihan saya hingga akhirnya saya di sini, mampu menatap tahun 2016 saya dengan senyum yang lebih lebar.
Apakah pernah terlintas dalam pikiran anda tentang betapa santainya menjadi seorang abdi negara?
Apakah pernah terbentuk rasa keraguan akan matinya kreatifitas akibat rutinitas sebagai seorang abdi negara?
Atau bahkan pernah muncul ketakutan bahwa profesi abdi negara akan membuat anda menjadi sosok yang kurang dijunjung masyarakat akibat stigma negatif yang masih berkembang saat ini?
Saya tidak akan menjawab pertanyaan tersebut satu per satu. Namun saya hanya akan sedikit berbagi cerita bagaimana unpredictable-nya, unusual-nya, uncommon-nya, dan unconventional-nya menjadi seorang abdi negara, terutama di lingkungan kerja pemerintah pusat.
Lelah karena jadwal pekerjaannya yang padat merayap, iya.
Bahkan mungkin waktu senggang untuk menikmati secangkir teh di sore hari pun akan menjadi momen mewah saat ini, apalagi jika disandingkan dengan tumpukan kertas kerja yang mulai menggunung. Di sela-sela kejenuhan tersebut, masih ada rasa syukur yang terpanjat, karena saya masih mampu mengasah otak dan ketrampilan serta tidak kehilangan kreatifitas karena terbukanya kesempatan untuk mengaplikasikan ide-ide segar ke dalam beberapa program pekerjaan, tentunya setelah persetujuan dari atasan.
Jadi, semua kekhawatiran seperti pertanyaan di atas memang tidak dapat saya buktikan. Karena saya memang tidak menemukan sisi kebosanan dalam pekerjaan saya ini. Di satu waktu, saya bisa bekerja dengan penuh peluh, namun di satu waktu yang lain saya mampu mengusap tetesan keringat dengan senyum santai sambil menikmati segala yang ada di sekitar.
Tahun 2015 mampu saya tutup dengan segala capaian yang tidak mungkin juga terwujud tanpa adanya campur tangan doa orang tua, orang-orang terkasih dan ridho Allah SWT.
Keluh kesah, canda tawa, dan segala perjuangan yang membuahkan hasil manis telah menjadi bumbu penyedap semangkok harapan saya di tahun 2015. Dan saya bangga menjadi diri saya sendiri, bangga dengan segala kerja keras dan kegigihan saya hingga akhirnya saya di sini, mampu menatap tahun 2016 saya dengan senyum yang lebih lebar.
My 2016
Tidak banyak harapan saya di tahun emas ini.
Saya hanya ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Menjadi sosok anak yang bisa menghormati kedua orang tua dan menciptakan senyuman-senyuman kecil di antara hari-hari mereka.
Mampu senantiasa mendukung hal-hal positif yang dilakukan oleh orang-orang terkasih di sekitar juga bukan hal yang mudah, namun saya akan mencoba :)
Berbagi, berbagi, dan berbagi. Saya ingin menjadi manusia yang lebih bermanfaat lagi di dunia ini. Bumi dan seluruh isinya yang telah banyak memberi saya kebahagiaan. Maka sudah sepantasnya saya menciptakan kebahagiaan untuk sesama.
Dan yang terakhir, salah satu penulis favorit saya, Tere Liye, pernah berkata :
"Tidak ada kehilangan yang paling menyedihkan di dunia ini selain kehilangan kejujuran, harga diri dan martabat."
Oleh sebab itu, saya akan mulai lebih rajin memupuk nilai kejujuran, kasih sayang dan kerendahan hati dalam diri saya agar segala hal yang positif bisa lebih mudah meresap dalam sendi-sendi tubuh ini.
Semoga di tahun 2016 ini segala macam warna ceria mampu mendominasi perjalanan saya kali ini.
Have a wonderful year ahead!