Warna-Warni Senja di Wakatobi
19.58
Ketika sebuah perjalanan tidak hanya tentang kemana kita pergi, namun juga tentang untuk apa kita pergi dan bersama siapa saja kita akan menyelesaikan perjalanan tersebut.
Pertama kali menerima kabar bahwa saya akan menjelajah salah satu bagian dari Pulau Sulawesi, tentu bukan hanya rasa gembira yang bergemercik dalam hati ini, namun juga rasa tidak sabar untuk segera memulai perjalanan tersebut karena saya yakin, pengalaman yang mengagumkan sudah menunggu untuk diarungi.
Pukul sebelas malam saya berangkat dari kos menuju ke Bandara Soekarno Hatta. Hari itu tanggal 27 September 2015, hari minggu dimana seharusnya saya sudah tertidur pulas di dalam kamar kos. Namun tidak untuk saat ini. Saya harus menahan sejenak kantuk yang mulai melanda ketika menuju bandara karena saya mendapat jadwal penerbangan pukul 01.30 WIB ke Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Ini benar-benar pertama kalinya saya mendapat jadwal terbang dini hari, sekaligus pengalaman saya pertama kali ke wilayah Indonesia Timur. Then here we go, my journey had been started. :)
-&-
Mas Yadhi, marketing Trans 7, adalah orang yang pertama kali saya hubungi ketika sampai di Bandara Soekarno Hatta. Ya, perjalanan dinas saya kali ini merupakan dalam rangka supervisi shooting Program Acara Para Petualang Cantik yang disponsori oleh Kementerian Pariwisata untuk campaign Pesona Indonesia. Pertama kali dapat kontak Mas Yadhi, udah kepikiran bakal ketemu bapak-bapak senior yang udah kerja lama di media, lalu perjalanan saya akan menjadi sedikit kaku karena adanya perbedaan usia yang cukup jauh di antara kita sehingga kalaupun dipaksa ngobrol juga agak susah nyambung dan cuman bisa ngobrol tentang kerjaan.
Tapi, ternyata saya salah besar, haha :'D
Mas Yadhi, dengan jaket kulit serta tas ransel coklat fossil favoritnya datang dan mulai menyapa saya saat kami sudah janjian di pintu masuk Gate 4, Terminal 2F, Bandara Soekarno Hatta. Setelah bersalaman dan berkenalan kembali secara langsung (sebelumnya kami sudah berkomunikasi melalui whatsapp), kami pun kemudian menuju loket check in Garuda Indonesia. Meskipun saat itu dini hari dan tetap banyak penumpang yang akan melakukan penerbangan, Garuda Indonesia senantiasa memberikan pelayanan terbaiknya seperti biasa.
Saya dan Mas Yadhi mulai mengobrol sambil jalan ke ruang tunggu. Mulai dari pekerjaan hingga pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti tentang berapa usia kami, haha.. Dan, ternyata dia pun sebelumnya berpikiran sama dengan saya, mengira akan bertemu dengan klien seorang ibu-ibu macem ibu-ibu pejabat yang pasti gak bisa nyantai banget kalau diajak ngobrol. :''D Di titik inilah, saya merasa bahwa perjalanan saya kali ini tidak akan terasa membosankan sama sekali, karena paling tidak saya telah mendapat satu kawan baru untuk menikmati senja di Wakatobi dan tentunya masih ada kawan-kawan baru lainnya yang sedang menunggu kami di sana. Ya, ketika kami sampai nanti, kawan-kawan baru saya sedang asik menikmati hangatnya sinar matahari dari atas perahu kayu tradisional khas Wakatobi, dan saya tidak sabar untuk segera bergabung dengan mereka.
-&-
Sekitar pukul 10 pagi WITA, pesawat Garuda Indonesia jurusan Makassar-Wakatobi yang kami tumpangi telah mendarat dengan lancar di Bandara Matahora, Wakatobi. Jadi, dari Jakarta dini hari tadi, pesawat kami harus transit dulu di Makassar selama sekitar satu jam untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Wakatobi. Bandara Matahora ini memang bukan bandara besar. Namun renovasi bangunan yang baru selesai dilakukan oleh pengelola, membuat bandara ini terlihat lebih modern dan cukup membanggakan jika disinggahi oleh wisatawan mancanegara yang ingin menikmati keelokan pesona bawah laut Wakatobi.
Dari Bandara Matahora, saya dan Mas Yadhi memulai perjalanan selanjutnya, yaitu ke lokasi penginapan kita, di Patuno Resort, satu-satunya resort terbesar di Pulau Wangi-Wangi. O iya, saya lupa menjelaskan. Jadi nama Wakatobi itu sebenarnya merupakan singkatan dari empat nama pulau besar di Wakatobi, yaitu Wangi-Wangi, Kadelupa, Tomia dan Binongko. Setiap pulau tentunya memiliki karakteristiknya masing-masing yang pastinya worth it banget untuk diexplore. Hanya saja sayang seribu sayang, agenda kegiatan saya di Wakatobi kali ini hanya berada di sekitar pulau Wangi-Wangi, jadilah saya kehilangan kesempatan untuk bisa mengunjungi ketiga pulau lainnya.
Sambil menikmati pemandangan di sepanjang jalan, saya dan Mas Yadhi sambil mengobrol tentang apa pun yang kami lewati saat itu, juga banyak bertanya pada driver kami. Infrastruktur di Wakatobi memang belum banyak perkembangan. Jalanan yang kami lewati saat itu masih bebatuan dan berpasir. Jalanan aspal masih dalam tahap rencana untuk dibangun. Pohon dan rumah sederhana milik penduduk sekitar menghiasi pemandangan sepanjang jalan yang terlihat sepi. Sama halnya dengan kebanyakn daerah di luar Jawa lainnya, pembangunan di Wakatobi juga masih terbatas. Jadi apa yang kami sasksikan saat itu memang merupakan salah satu gambaran belum meratanya kesejahteraan masyarakat Indonesia. Di Wakatobi, kehidupan masyarakat hanya berlangsung hingga sore. Kita akan jarang sekali melihat aktifitas masyarakatnya di malam hari, kecuali di pusat kotanya, itu pun juga karena ada pesta yang diadakan oleh salah seorang penduduk, baik pesta syukuran, pesta pernikahan, maupun pesta khitanan.
Sejujurnya saya mulai meresapi ketenangan yang ada di salah satu wilayah Indonesia bagian timur ini. Wakatobi dengan kesederhanaannya, kenyamanannya, kedamaiannya, dan kealamiannya. Yang paling bikin saya kagum adalah bagaimana masyarakat Wakatobi bisa teredukasi dengan baik mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Hampir mustahil saya menemukan sampah di sana. Bahkan air selokan saja bersih dan beningnya bukan main. And I really love to appreciate it.
Dari Bandara Matahora, saya dan Mas Yadhi memulai perjalanan selanjutnya, yaitu ke lokasi penginapan kita, di Patuno Resort, satu-satunya resort terbesar di Pulau Wangi-Wangi. O iya, saya lupa menjelaskan. Jadi nama Wakatobi itu sebenarnya merupakan singkatan dari empat nama pulau besar di Wakatobi, yaitu Wangi-Wangi, Kadelupa, Tomia dan Binongko. Setiap pulau tentunya memiliki karakteristiknya masing-masing yang pastinya worth it banget untuk diexplore. Hanya saja sayang seribu sayang, agenda kegiatan saya di Wakatobi kali ini hanya berada di sekitar pulau Wangi-Wangi, jadilah saya kehilangan kesempatan untuk bisa mengunjungi ketiga pulau lainnya.
Sambil menikmati pemandangan di sepanjang jalan, saya dan Mas Yadhi sambil mengobrol tentang apa pun yang kami lewati saat itu, juga banyak bertanya pada driver kami. Infrastruktur di Wakatobi memang belum banyak perkembangan. Jalanan yang kami lewati saat itu masih bebatuan dan berpasir. Jalanan aspal masih dalam tahap rencana untuk dibangun. Pohon dan rumah sederhana milik penduduk sekitar menghiasi pemandangan sepanjang jalan yang terlihat sepi. Sama halnya dengan kebanyakn daerah di luar Jawa lainnya, pembangunan di Wakatobi juga masih terbatas. Jadi apa yang kami sasksikan saat itu memang merupakan salah satu gambaran belum meratanya kesejahteraan masyarakat Indonesia. Di Wakatobi, kehidupan masyarakat hanya berlangsung hingga sore. Kita akan jarang sekali melihat aktifitas masyarakatnya di malam hari, kecuali di pusat kotanya, itu pun juga karena ada pesta yang diadakan oleh salah seorang penduduk, baik pesta syukuran, pesta pernikahan, maupun pesta khitanan.
Sejujurnya saya mulai meresapi ketenangan yang ada di salah satu wilayah Indonesia bagian timur ini. Wakatobi dengan kesederhanaannya, kenyamanannya, kedamaiannya, dan kealamiannya. Yang paling bikin saya kagum adalah bagaimana masyarakat Wakatobi bisa teredukasi dengan baik mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Hampir mustahil saya menemukan sampah di sana. Bahkan air selokan saja bersih dan beningnya bukan main. And I really love to appreciate it.
&
Sore itu, masih di hari yang sama, saya dan Mas Yadhi beranjak ke Kampung Bajo untuk menyambut tim Para Petualang Cantik yang baru saja melakukan pengambilan gambar di Pulau Tomia. Sedih sih gak bisa ikut mereka ke Tomia dan dua hari terakhir saya hanya akan melakukan supervisi shooting bersama mereka di Pulau Wangi-Wangi. Tapi saya tidak pernah menyesali takdir yang telah membawa saya ke Wakatobi. Di sore yang cerah itu, saya menikmati senja di pinggir pelabuhan kecil Kampung Bajo, merasakan hembusan angin yang lembut sambil memandang lautan biru yang terhepas luas di depan mata saya. Saya suka dengan perbaduan warna coklat balok kayu yang saya singgahi dengan warna biru kehijauan air laut di bawahnya. Saya tersenyum manis melihat keceriaan anak-anak Kampung Bajo yang sedang asik berenang dan mengendarai perahu layaknya nahkoda kapal layar. Dan saya kagum dengan rasa kekeluargaan mereka yang sangat erat. Mereka juga pandai menyatu dengan alam. Layaknya suku Bajo sejati yang selalu mampu menunjukkan keperkasaannya dalam menaklukkan lautan samudera.
&
Hingga akhirnya, sekitar pukul lima sore, Mas Yadhi dihubungi oleh salah satu tim Para Petualang Cantik (PPC) bahwa mereka akan berlabuh di pelabuhan yang lain, di dermaga yang lebih besar. Saya lupa apa nama dermaga itu. Tanpa basa-basi, kami kemudian segera menuju ke dermaga yang disebutkan tadi. Langit sudah semakin gelap, Bahkan saat sudah dua jam kami berada di dermaga, perahu kayu yang ditumpangi tim PPC belum juga menunjukkan bendera perahunya. Sambil menikmati angin malam, sambil kita nyemil, sambil saya memandangai langit di atas dermaga. Langit hari itu sangat cerah sehingga saya dapat melihat berjuta-juta bintang yang menghiasi. Itu adalah momen favorit saya. Ya, langit memang salah satu pemandangan yang paling saya suka. Baik saat penuh dengan awan putih yang berkilau di pagi dan siang hari, maupun saat bertaburan bintang-bintang terang di malam hari, langit itu selalu mempesona bagi saya.
Karena keasikan memusatkan perhatian saya pada langit di atas dermaga, saya sampai tidak sadar bahwa tim PPC sudah hampir sampai dermaga. Mas Yadhi yang pertama kali menyadarinya langsung menepuk pundak saya dan mengatakan bahwa perahu tim PPC sudah siap berlabuh di dermaga. Saat itulah, pertemuan saya dengan beberapa kawan baru telah dimulai kembali. :))
&
Ada Mbak Zunnun, tim creative PPC, Mbak Villi UPM PPC, Mas Firman production assistant PPC, dan beberapa kameramen serta soundman. Di situ juga saya pertama kali bertemu dengan Om John, Plh Sekda Wakatobi dan Mas Amal staf pemasaran Dinas Pariwisata Wakatobi. Serta tidak lupa saya berkenalan dengan Jesslyn dan Petty, kedua host PPC untuk episode Wakatobi. Bersama merekalah, ditambah dengan Mas Yadhi tentunya, saya akan menghabiskan dua hari ke depan di Wakatobi. :))
Well, secara keseluruhan, tim PPC adalah tim yang solid. Saya hargai bagaimana usaha mereka untuk menciptakan sebuah program yang menarik seperti PPC. Saya juga sangat nyaman bisa bekerja sama dengan Mbak Zunnun dan Mbak Villi. Bahkan pertemuan kami di Wakatobi kala itu membawa saya berkerja sama lagi dengan mereka di shooting PPC episode selanjutnya. Mbak Zunnun dengan segala atribut warna merah favoritnya selalu mampu menunjukkan etos kerjanya yang tinggi di dunia media. Sedangkan Mbak Villi sang ibu negara, junjungan para crew karena posisinya selayaknya bendahara dalam setiap trip. Yup, tiap kali kami melakukan perjalanan bersama, selama ada Mbak Villi, urusan perut mah beresss, hahaha.. Kalau Mas Yadhi, udah mirip kayak kakak sendiri. Mulai dari kita pertama kali bertemu sampai akhirnya kita berpisah di bandara, hanya satu kesimpulan saya, he is a good marketeer, and I learnt a lot from him. :))
Beda lagi dengan dua orang dari pemerintahan yang baru saya kenal, Om John dan Mas Amal. Om John sudah seperti ayah kami sendiri, yang selalu sabar dan bersemangat mengantar kami shooting ke berbagai lokasi di Wakatobi. Om John juga yang banyak bercerita kepada saya tentang kehidupan masyarakat Bajo dan bagaimana suku Bajo Wakatobi saat ini bisa semakin kuat, bahkan di kalangan suku Bajo dunia. Pada saat ada kesempatan ke Jakarta untuk menghadiri launching dan pameran Wakatobi Wave 2015, Om John juga yang menelepon saya untuk mengabari dan mengajak bersilaturahmi. Namun sayang di saat yang bersamaan saya masih harus mengikuti Diklat Pra Jabatan di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Sedangkan Mas Amal, sudah menjadi kawan baru saya, terutama di bidang pekerjaan. Status kami berdua yang sama-sama sebagai staff di instansi pemerintahan yang berkutat di bidang pariwisata membuat koordinasi antara Kementerian Pariwisata sebagai instansi pusat dan Dinas Pariwisata Wakatobi di daerah berjalan dengan lebih lancar.
&
Ada banyak sekali yang bisa saya dapatkan dari perjalanan tiga hari itu. Mulai dari mendapat kawan-kawan baru, rekan kerja baru, bahkan orang tua baru. Selain itu saya juga bisa mempelajari sejarah yang ada di Wakatobi, baik tentang alamnya maupun masyarakat di sekitarnya. Rasa syukur saya juga sangat bertambah ketika saya sadar bahwa saya dilahirkan di negeri yang sangat kaya. Mungkin Wakatobi tidak mencerminkan kemakmuran masyarakat kita dari segi materi dan infrastruktur. Namun Wakatobi mampu memikat kita dengan kekayaan budaya dan alamnya.
Tuntas sudah tugas saya dalam melaksanakan supervisi shooting PPC yang disponsori oleh Kementerian Pariwisata melalui campaign Pesona Indonesia. Yah, meskipun agak menyesal juga karena belum sempet menikmati keindahan bawah laut Wakatobi (yang katanya emang keren banget). Semoga masih dikasih kesempatan untuk melakukan kunjungan berikutnya deh, hehe..
Lewat PPC tersebut, saya harap akan semakin banyak masyarakat Indonesia yang menyaksikan keindahan Wakatobi, meskipun baru dari layar kaca. Namun saya yakin, di kemudian hari pasti akan semakin banyak juga yang mengunjungi Wakatobi untuk berwisata.
Lewat PPC tersebut, saya harap akan semakin banyak masyarakat Indonesia yang menyaksikan keindahan Wakatobi, meskipun baru dari layar kaca. Namun saya yakin, di kemudian hari pasti akan semakin banyak juga yang mengunjungi Wakatobi untuk berwisata.
Sungguh,
Lestari Alamku, Lestari Negeriku.
Warna-Warni Senja di Wakatobi, Pesona Indonesiaku.
1 comments
mana potonya Cusdiinn...??
BalasHapus